Ditulis 22 September 2014
Belum mengerti.
Hari ini, tepatnya di sebuah kursi yang sedang mau-maunya
kududuki.
Aku menulis ini pada kertas dengan pena yang hampir habis.
Setepatnya angin menusuk masuk lewat udara yang sedang
kuserap hingga kini aku sadar bahwa masih bisa bernapas.
Demi berbagai tipe debu yang sedang menyatu bersama seluruh
benda mati, yaitu kursi, meja, hingga buku.
Aku tatap lagi buku ini, semoga tak ada hujan yang menetes
dari sudut gelap mata.
Aku hela sekian detik napas dan berharap ini bukanlah yang
terakhir.
Lalu aku gerakan persendian lengan yang masih kaku sedari
tadi karena bingung.
Darah yang masih mengalir dengan normal.
Namun sanyangnya perasaanku tidak senada dengan apa yang
terjadi, menjadi tak karuan.
Ada beberapa hal yang inginku katakan kepadanya tadi, namun
keberanian ini luput dan cacat.
Padahal, waktu sedari tadi sedang meledekku dengan cemooh
yang makin menjadi-jadi.
Ah, kulihat lagi sekelilingku masih sama, yaitu biasa saja.
Tapi tadi menjadi berbeda ketika kamu berada di depanku
dengan melontarkan senyum lunglai yang seharusnya aku balas, sayangnya lagi aku
tak berani.
Karena firasatku senyummu itu untuk orang lain, bukan untukku.
Ah, nyeri, pahit!
Comments
Post a Comment